Riwayat Hidup Pendiri PP. Al Ittihad Demak
Riwayat Hidup Kiai Fauzi Noor
Kiai Haji Fauzi
Noor (lahir di Jungpasir, 27 Agustus 1943 – meninggal pada 19 Januari 1999 pada
usia 56 tahun) adalah seorang tokoh perjuangan pendidikan di Demak, khususnya
di Desa Jungpasir sebagai tempat tinggal dan kelahiran beliau. Beliau merintis
berdirinya Pondok Pesantren Al-Ittihad di kediaman beliau sendiri, dan
juga memprakarsai berdirinya lembaga-lembaga pendidikan formal di Desa Jungpasir.
1.
Silsilah
Keluarga
Nama lengkap
silsilah beliau ialah Kiai Haji Fauzi Noor bin Haji Manshur bin Sarjan. Haji
Mansur ialah seorang modin dan tinggal di Desa Jungpasir berlatar
belakang pendidikan pesantren. Beliau berasal dari Desa Tedunan, desa yang
tidak jauh dari Jungpasir. Bapak Sarjan ialah seorang kepala Desa Tedunan. Beliau
juga masih punya hubungan kerabat dengan tokoh kiai besar dari Desa Tedunan,
Kiai Haji Abdul Hadi dan Kiai Haji Abdurrahim.
Dari kecerdasan
dan potensinya sebagai santri, Haji Mansur menikah dengan Hj. Asmanah putri H. Sulaiman yang terpandang di Desa Jungpasir. Kisahnya, namanya Mansur ialah setelah menunaikan
ibadah haji bersama dan atas biaya H. Sulaiman. Yang sebelumnya Mansur bernama
Adnan.
Dari keluarga
Haji Manshur dan Hj. Asmanah, dalam keluarga sederhana namun kental dengan
nuansa islami inilah, lahir putra-putri yang meneruskan cita-cita ayahnya,
yaitu;
1.
KH. Abdussalam
2.
KH. Asymuni
3.
Hj. Zulfa
4.
KH. Fauzi Noor
5.
KH. Farokhi
6.
Nyai Mastikah
Dari 6
bersaudara ini, yang paling berperan dalam membentuk karakter seorang Fauzi
Noor ialah kakaknya, KH. Abdussalam, yang banyak memberikan arahan dalam pendidikan
Kiai Haji Fauzi Noor, dan adiknya, KH. Farokhi juga banyak menemani dalam
menjalani langkah-langkah belajar beliau. Haji Manshur wafat sekitar tahun 1950,
sedangkan Kiai Abdussalam wafat pada tahun 1980.[1]
2.
Pendidikan
a.
Masa Kecil
Riwayat
sejarah pendidikan beliau ialah menggembala kambing sejak kecil bersama
adiknya, Kiai Farokhi. Pernah suatu saat ia bermimpi bahwa kakaknya, KH. Abdussalam
tengah berternak bebek, yang merupakan pertanda bahwa KH. Abdussalam berkiprah
dalam pendidikan anak-anak belajar Al-Quran di Madrasah Diniyah sebagai seorang
pendiri dan kepala madrasah pertama. “Mungkinkah aku nanti akan menggembalakan
manusia-manusia yang lebih besar seperti kambing-kambingku ini?,” hal ini diceritakan
oleh adik beliau, KH. Farokhi.
Pendidikan
formalnya dimulai dari bangku SD di desa Mutih Kulon yang tak jauh
dari Jungpasir. Dan juga belajar ilmu agama setiap sore di bangku Madrasah
Diniyah dalam bimbingan kakaknya, KH. Abdussalam. Ia mengisi waktu luangnya dengan
menggembala kambing bersama Farokhi adiknya.
b.
Sekolah dan Mondok
Haji
Mansur mempunyai cita-cita agar Fauzi juga saudara-saudaranya belajar di
pesantren dan menjadi kiai meneruskan perjuangan sang ayah. Oleh karena itu, setamat
pendidikan dasar, Fauzi dipondokkan di Pondok Pesantren Al-Fattah Kembangan
Demak.[2]
Akan tetapi Kiai Fauzi “mencuri” waktu untuk menimba ilmu di sekolah umum PGA
Demak. Setelah 1 tahun dan dikemudian hari ayahnya mengetahui, ia dipindah.[3]
Beliau dipindahkan ke pesantren
KH. Sholeh Gleget di Mayong Jepara selama 2 tahun. Belakangan kemudian
diketahui ternyata meskipun tidak sekolah Fauzi masih suka membuka mata
pelajaran umum, kemudian dipindah di Pesantren Salafiyah Kajen, dibawah asuhan
Kiai Baidhowi.
Di Kajen, Fauzi masih
punya semangat sekolah, ia masih saja mencuri waktu untuk belajar di Sekolah
Menengah Islam (sekolah setara SMP/Sederajat). Akan tetapi sekolah itu hanya
dijalaninya selama setahun.[4]
Pengalaman belajar di
Kajen yang dijalaninya selama 3 tahun inilah yang menjadi motivasi beliau dalam
perjuangan di masyarakat nanti.[5]
Beliau
merasa terbuka dan tenang dalam kesibukannya belajar ilmu agama. Disamping itu,
ia juga bertekad menjalani puasa. Ia memperoleh amalan Puasa Dala’il
dari Kiai Ahmad Ibrahim dan Kiai Yasin Mbareng. Ditambah lagi lebih dalam dari
Kiai Sa’id Rowo Kirik Kudus.
c.
Mengabdi pada
Kiai Ma’shum
Di
Kajen, beliau pernah bermimpi bahwa dirinya menghabiskan nasi makanan santri
seluruh pondok. Mimpinya tersebut dihaturkan kepada Kiai Baidlowi. Kiai
Baidlowi mengartikan bahwa itu isyarat bahwa Fauzi itu akan menghabiskan
ilmunya orang sepondok. Masa belajarnya di Kajen 3 tahun ini dicukupkan, dan
sementara itu abahnya mendapatkan dhawuh agar Fauzi dipindah ke Lasem. Diantar
oleh kakaknya, Kiai Abdussalam, mondok di Pesantren Al-Hidayah dibawah asuhan
Kiai Ma’shum Lasem.
Dari
penututran Kiai Farokhi, Kiai Fauzi sering terjaga di waktu malam untuk
tahajud, bermunajat, dan belajar. Kiai Fauzi seringkali keluar malam ke halaman
pondok memandang lingkungan sekitar, memandang langit dan bumi.
Masih
dianggap anak baru, yang belum genap mondok 2 tahun, suatu ketika Mbah Ma’shum
membuat pengumuman tertulis dengan tangan beliau sendiri, bahwa nanti yang akan
membaca kitab ialah Fauzi Noor Demak.[6] Sejak itulah reputasi beliau sebagai santri melebihi
santri-santri yang lebih senior. Beliau menjadi pengajar, yang sering menggantikan (menjadi badal)
Kiai Maksum mengajar ketika sedang ada udzur. Kiai Ma’shum selalu menyebutnya “Jago Demak”.
Pada awalnya Kiai Fauzi merasa tidak yakin akan kemampuan dirinya, namun Mbah
Ma’shum berpesan, ketika menjumpai kesulitan bacakan saja Surat Al-Fatihah
untuknya dan pengarang kitab yang sedang dibaca. Dan ternyata memang benar,
seolah ada yang memberikan pengertian dan menjadikan beliau faham seketika.
Sejak itulah beliau tidak pernah menjumpai kesulitan apapun dalam khazanah
keilmuan kitab-kitab salaf disekelilingnya.
Di
saat-saat tertentu ketika bahtsul masail ada orang yang membantah pemahaman beliau
terkadang beliau terlanjur mengatakan kehadiran muallif dan muallif sendiri
yang mengatakan kepada beliau.
Kiai
Fauzi mengikuti forum-forum Bahtsul Masail Kubro antar pesantren. Sejak itulah
publik mulai mengenal sosok Kiai Fauzi. Setelah menikah dan punya santri di
kampung halamannya, beliau masih berangkat ke Lasem setiap Sya’ban sampai
Ramadhan untuk mengajar.
Dari
pengalaman santri beliau di Lasem, ketika Kiai Fauzi menarget khatam Kitab
Shahih Muslim selama 21 hari, maka mengajinya setiap hari sehabis isya’ duduk
bersila ngasahi kitab sampai jam 1 malam.
Di
Lasem beliau juga sempat untuk belajar kepada beberapa kiai. Diantaranya, beliau mengikuti kajian
kitab Al-Itqan pada persinggahan rihlah safari Kiai Dimyathi Pandeglang Banten
selama beberapa bulan. Kiai Fauzi menjadi kenal dan dekat dengan Kiai Dimyathi
dalam masa singgahnya untuk mengajar di Masjid Lasem. Setelah khatam, Kiai
Fauzi mengikuti perjalanan Kiai Dimyathi ke Rembang, mengaji kitab yang lain
selama setahun.
Kiai
Fauzi juga sempat berguru Thariqah Naqsyabadiyah kepada Kiai Abdullah Khafid
Rembang.
3.
Menikah
Beliau
menikah dengan Nyai Hj. Amin Zahroh, putri H. Abdur Rohim yang berlatar
belakang keluarga terpandang, dalam usia yang terpaut sangat jauh. Kiai Fauzi
dalam usia mudanya, 24 tahun, sedangkan Nyai Hj. Amin Zahroh dalam usia masih
kecil, 12 tahun. Mertuanya inilah yang membiayai ongkos untuk kembali ke Lasem.[7]
Memang
menjadi tradisi di masa dulu, santri yang punya potensi besar dan pengaruh akan
mendapat banyak dukungan secara moril maupun materil oleh masyarakat, terlebih
dari kalangan orang terpandang yang peduli pendidikan, banyak juga santri itu
yang akhirnya menjadi bagian keluarga tersebut. Tak terkecuali Kiai Fauzi.[8]
Pernikahan
Kiai Haji Fauzi Noor dengan Nyai Hj. Amin Zahroh melahirkan putra-putri yang melanjutkan perjuangan beliau;
1.
Syaiful Aziz (Alm.)
2.
Minhatun (Alm.)
3.
Hj.
Elok Hafidhoh (KH. Abdur Rohim)
4.
KH.
A gus Mansur (Hj. Ulin N
i’mah)
5.
Ma’shumatul
Faidhoh (Firdaus
Hendarto)
6.
Lailatul
Fajriyah (Ahmad yusuf)
7.
Amirotul
Azizah (M. Misbakhul
Munir)
8.
Chilyatus Zamzami
(Alm.)
9. Syarifatul Mukarromah
4.
Panggilan ke
Tanah Suci
Beliau pertama
kali mengunjungi Tanah Suci untuk berhaji pada tahun 1975. Sampai wafat beliau
telah menunaikan haji 6 kali. Kunjungan ke tanah suci pada waktu itu
menggunakan kendaraan kapal, sehingga setiap kunjungan beliau ke tanah suci
memakan waktu sampai lebih dari 3 bulan.
5.
Wafat
Kiai Fauzi
meninggal dunia setelah Shalat Isya tepat pada malam Hari Raya Idul Fitri, 1 Syawal 1420 Hijriyah bertepatan tanggal 19 Januari 1999, dalam usia 56 tahun. Menjelang wafat, kesehatan fisik beliau memang
kurang baik, tapi masih aktif mengajar dan mengimami sholat. Sampai akhirnya sakit beliau yang parah dirujuk ke Rumah Sakit
Islam Kudus dan berpulang ke rahmatullah.
Ada ribuan
peziarah saat prosesi pemakaman beliau. Ini menandakan bahwa beliau merupakan
seorang kiai karismatik yang menjabat sebagai Rois Syuriah Demak 2 periode yang
mempunyai pengaruh besar di lingkungan masyarakat Demak dan sekitarnya. Saking
banyaknya peziarah yang ikut menshalatkan beliau, keranda jenazah beliau tidak
dipikul, tapi berjalan diangkat secara estafet oleh tangan-tangan para peziarah
dengan rapi sampai ke lokasi pemakaman.[9]
Beliau
dimakamkan di komplek pemakaman Desa Jungpasir. Makam beliau begitu sederhana
hanya diberi batas persegi panjang dengan gundukan batu-batuan kecil berwarna
putih. Makamnya bertuliskan “K.H. Fauzi Noor, wafat 1 Syawal 1420 H,” disamping
makam KH. Abdussalam kakak beliau, dan orangtua beliau H. Mansur dan Hj.
Asmanah.
A.
Peran dan Kiprah Kiai Fauzi dalam Pengembangan Masyarakat
Kiai Fauzi pernah
merasa gelisah memandang Desa Jungpasir hanya berputar dalam bidang pertanian.
Dari sini beliau memandang bahwa keadaan ini tidak akan bisa mencetuskan
cita-cita tinggi Jungpasir. Beliau juga mendapat pengarahan dari KH. Abdurrahim
Tedunan seorang ulama sepuh mursyid terkenal Thariqah Naqsyabandiyah, dalam
perjuangan dakwah beliau. Kiai Farokhi menuturkan, bahwa memang sejak kecil
Kiai Fauzi dan saudara-saudaranya sering berkunjung silaturrahmi ke Kiai Haji
Abdul Hadi dan Kiai Haji Abdurrahim di Tedunan.[10]
1.
Mendirikan Pesantren
Pada tahun 1971 Kiai Fauzi pulang ke
kampung halaman dan mulai mengabdikan diri dalam pemberdayaan masyarakat. Namun
beliau masih pulang-pergi ke Lasem, untuk mengajar setiap Syakban sampai
Ramadhan. Ada sekitar 10 anak santri menetap dan anak kampung yang ikut mengaji
berangkat dari rumah. Pesantren saat itu belum memiliki bangunan dan belum ada
namanya. Para santri ditempatkan di 2 kamar sederhana kepunyaan Kiai
Abdussalam. Mengajinya di rumah Kiai Abdurrahim Jungpasir mertua beliau yang
jaraknya agak jauh. Santri-santri angkatan pertama ialah murid beliau dari
Lasem yang ingin melanjutkan mengaji kepada Kiai Fauzi atas instruksi dari Mbah
Ma’shum sendiri.
Kiai Fauzi baru
benar-benar menetap di Jungpasir pada tahun 1976. Beliau menghidupkan kegiatan majelis
ta’lim untuk masyarakat belajar tata cara sholat setiap Hari Selasa, karena
pada saat itu tidak sedikit juga orang yang belum benar bahkan belum bisa
sholat. Dan setiap Hari Jumat diadakan kajian kitab. Banyak orang yang senang
mendengarkan ceramah dan nasehat beliau.
Awal mula pesantren itu bernama “Nahdlatut Talamidz” yang
artinya “kebangkitan murid-murid.” Dengan sebuah bangunan gubuk bambu dengan
tiang penyangga dari kayu jati.
Pada
perkembangannya, pesantren itu mendapat dukungan kuat dari berbagai lapisan
masyarakat. Maka semangat persatuan gotong royong ini dijaga dalam perubahan
nama menjadi “Al-Ittihad.” Banyak anak-anak desa dan sekitar ikut mengaji di
pondok. Ada banyak santri mukim dari daerah yang jauh, tapi banyak juga santri
kalong dari desa sendiri dan desa-desa tetangga.
Diantara berbagai
dukungan yang masuk, ada beberapa respon negatif dari sebagian kecil golongan
dan masyarakat dengan berbagai dalih, namun itu semua tidak menjadi penghalang
perjuangan Kiai Fauzi. Hal ini merupakan suatu hal yang wajar dalam setiap
perjuangan selalu dihadang rintangan. Dzikir-dizikir berjama’ah yang dibaca di
pesantren menjadi tameng ruhaniyah para santri.[11]
Asal mula
penerimaan santri putri diawali kehadiran seorang santri dari Sumatra untuk
nyantri dengan membawa istrinya. Disamping itu, putri pertama Kiai Fauzi, yakni
Nyai Hj. Elok Hafidzoh telah pulang dari pesantren Lasem. Beliau juga seorang
penghafal quran alumni Pondok Pesantren Yanbu’ul Quran asuhan Kiai Arwani
Kudus. Banyak juga minat dari masyarakat kalangan perempuan untuk mengaji di
Pesantren Al-Ittihad. Sejak tahun 1955, Pesantren Al-Ittihad telah membuka
pendaftaran bagi santri putri untuk menghafal Al-Quran dibawah bimbingan Hj.
Elok Hafidzoh.
Pada saat ini,
kepemimpinan Pondok Pesantren Al-Ittihad diwarisi oleh putra beliau, KH. Agus
Mansur, M. Eng, Sc. dibantu oleh KH. Abdur Rohim, yang merupakan santri
sekaligus menantu Kiai Fauzi sendiri, suami dari Ibu Nyai Hafidzoh.
2.
Mendirikan
Madrasah
Kiai Fauzi juga
berkiprah membangun madrasah di Desa Jungpasir. Meskipun tidak semua madrasah,
tapi pelopor utama yang menggerakkan masyarakat untuk berbenah dalam bidang
pendidikan ialah Kiai Fauzi. Pada mulanya telah berdiri Madrasah Diniyah yang
didirikan Kiai Abdussalam, yang
dikembangkan oleh Kiai Fauzi menjadi sampai ke jenjang Wustho dan Ulya bagi
anak pondok dan umum. Kiai Fauzi mengawasi perkembangan lembaga-lembaga
pendidikannya dalam yayasan yang menaungi Pesantren Al-Ittihad, yakni Yayasan
Al-Ittihad Al-Manshuriyah.. Pada
perkembangannya, Yayasan Al-Ittihad Al-Manshuriyah menaungi beberapa lembaga
pendidikan mulai dari PAUD, TK, TPQ, sampai akhirnya pada tahun 2011 melahirkan SMK Multimedia Al-Ittihad.
Kiai Fauzi juga menggagas
berdirinya sekolah formal MI dan MTs. MI
Al-Ittihad kemudian lepas dari naungan yayasan Al-Ittihad Al-Manshuriyah karena
berubah statusnya menjadi negeri. Adapun MTs dan MA berada dibawah Yayasan
Pendidikan dan Kesejahteraan Muslimin yang diberdayakan oleh masyarakat.
a. MI Negeri Jungpasir
Sebelumnya,
lembaga pedidikan formal hanyalah SDN Jungpasir dan dipandang kurang begitu
berperan dalam mendidik masyarakat Jungpasir. Maka Kiai Fauzi dan Kiai Abdussalam menggagas berdirinya sebuah madrasah
tingkat dasar.
Pada tahun 1969, musyawarah pertama
pendirian itu dilaksanakan pada Hari Jumat pagi, berjumlah 7 orang di kantor
organisasi islam Jungpasir (sekarang Kantor MTs Bandar Alim), kemudian
berdirilah MWB (Madrasah Wajib Belajar) di sebelah Masjid Jungpasir.
Pada tahun 1970,
MWB yang pada saat itu hanya sampai jenjang kelas 3, berubah menjadi MI
Al-Ittihad yang sampai kelas 6. Sampai tahun 1985, jumlah siswa mencapai 143
anak. Kepala MI Al-Ittihad pertama ialah Kiai Abdussalam, lalu dilanjutkan Kiai
Fauzi Noor, kemudian Kiai Ahmad Hasyim.
Sejak tahun 1971 kepemimpinan di pegang oleh Kiai Misbah.
Pada tahun 1991, MI
Al-Ittihad masih sangat kekurangan dana untuk biaya operasional, akhirnya
mengajukan usulan pada pemerintah untuk dinegerikan. Akhirnya menjadi MIN
Jungpasir dengan SK Pemerintah tertanggal 25 November 1995. Kiai Misbah masih
menjadi kepala madrasah lagi sampai tahun 2003. Jabatan kepala madrasah
dipegang oleh Ibu Mutomimah, S. Pd. I. sampai sekarang.
b. MTs Bandar Alim Jungpasir
Secara
umum, latar belakang didirikannya MTs Bandar Alim Jungpasir ialah menciptakan
lembaga pendidikan yang lebih tinggi untuk pemberdayaan masyarakat. Melihat
keberhasilah dalam merintis MIN Jungpasir, akhirnya memunculkan ide untuk
mengembangkan lembaga pendidikan yang lebih tinggi, yaitu merintis sebuah
Madrasah Tsanawiyah tepatnya pada pertengahan tahun 1977.
Pada
Bulan September 1977 MTs Al-Ittihad telah melangsungkan kegiatan
belajar-mengajar dengan 10 siswa yang sebagian besar dari anak pondok dan sebagian
kecil dari anak kampung. Fasilitas madrasah masih serba kekurangan. Para
pengajarnya ialah para pendiri dari tokoh-tokoh masyarakat, diantaranya ialah;
1.
Kiai Fauzi sendiri sebagai kepala
sekolah,
2.
Bapak H. Ali Asrori, akrab dengan sapaan
“Pak Carik”
3.
Pak Abdullah Nashir,
4.
Pak Samsul Hadi,
5.
Pak Sayuti Anwar, dan
6.
Pak Baidhowi Marzuki, beliau ikut menjadi
tenaga pengajar sejak masih belajar di bangku MA.
Karena berbagai kekurangan dan kendala, akhirnya pada Bulan April
1978 kegiatan belajar-mengajar di MTs Al-Ittihad berhenti. 2 tahun kemudian,
sekitar tahun 1980-an, Kiai Fauzi berusaha menghidupkan lagi. Beliau
mengumpulkan para kiai dan tokoh Masyarakat, diantaranya ialah; KH. Ubaidun
Shofwan, KH. Sholeh Zainuri, dan KH. Ahmad Hasyim.
Dari
musyawarah tersebut, ada usulan dari KH. Soleh Zainuri untuk merubah nama
Al-Ittihad dengan tujuan agar timbul kesan bahwa MTs ini ialah milik bersama
seluruh lapisan masyarakat. Akhirnya Kiai Fauzi menyetujuinya.[12]
Nama
baru yang disepakati ialah Bandar Alim. Yang artinya Desa Jungpasir ini ialah
tempat berlabuhnya orang-orang alim. Nama Bandar Alim ini
ialah sebenarnya nama Dukuh Bajangan. Sejarah dari Dukuh Bajangan pernah diberi
julukan Bandar Alim karena banyak orang-orang alim di Dukuh ini. Namun, dikembalikan
menjadi Bajangan, agar nama tokoh bersejarah “Mbah Bajang” di Desa Jungpasir khususnya Dukuh
Bajangan ini tetap hidup dan dikenang.
Mengenai
letak geografis, dulu ada perselisihan diantara para founding fathers.
Ada diantaranya yang berpendapat bahwa letak posisinya kurang strategis, juga
tidak berkumpul dalam satu komplek yang besar. Tapi Kiai Fauzi punya komitmen,
bahwa jenjang lembaga pendidikan harus disebar rata di seluruh desa, dengan
harapan bahwa nantinya pendidikan anak Desa Jungpasir bisa merata. Dan MTs ini
memang harus ada di tengah desa. Sebelumnya telah berdiri MI di sebelah utara,
dan sebelah barat jauh-jauh hari telah berdiri SD.
Sekitar
tahun 1983, jumlah siswa sudah mencapai angka 500. Karena pada saat ini ada
beberapa lembaga pendidikan sederajat baru yang didirikan, perkembangan
kuantitas menurun, pada tahun ini ada 337 anak. Sampai tahun ini, MTs Bandar
Alim telah meluluskan sekitar hampir 4.000 siswa.
Meskipun
kurikulum mengacu pada Kementrian Agama, pihak madrasah punya komitmen menambah
penekanan pada mata pelajaran Islam, terkhusus pada kitab kuning, seperti Ta’limul
Muta’allim, Faroidl, dan Nahwu-Shorof yang lebih utama. Juga
program hafalan bersertifikat, yang menjadi syarat kenaikan kelas, diantaranya;
Asmaul Husna dan Juz Amma untuk kelas 7, Surat Yasin dan Al-Waqiah untuk kelas
8. Dan hafalan itu semua berijazah dari para kiai sepuh, dengan
keyakinan bahwa sanad ijazah itu nanti pasti ada berkahnya. Adapun
tahlil tidak dimasukkan karena dianggap telah familiar.
3.
Karir Organisasi
Karir
organisasi beliau ialah sejak memulai berkiprah di desa, beliau menjadi sentral
semua bidang dakwah di Jungpasir, terlebih dalam organisasi NU. Kiprah beliau
dalam organisasi NU dimulai di desa, semenjak meninggalnya kakak beliau, Kiai
Abdussalam di tahun ’80-an, Kiai Fauzi menggantikannya sebagai Ketua NU Ranting
Jungpasir dan menghidupkan kembali kegiatan yang pernah berhenti beberapa waktu
semenjak wafatnya Kiai Abdussalam. Mulai tahun 1988 beliau
menghubungkan NU Ranting Jungpasir dengan Anak Cabang, Wedung agar lebih luas
kiprahnya, karena saat itu dipandang selama ini NU Ranting hanya berputar dalam
perkumpulan jamiyahan, dan ngaji.
Sejak tahun 1990-an beliau sudah
berkiprah di NU Kabupaten, sampai akhirnya menjadi Rois Syuriah NU Demak
sekitar tahun 1995 dan terpilih lagi sampai beliau wafat. Beliau juga
dipilih menjadi anggota wakil utusan PW. NU Jawa Tengah dalam bahtsul masail
Nasional dan Muktamar NU.
B.
Karakter dan Kepribadian Kiai Fauzi
1. Kharismatik
Beliau memiliki daya tarik yang kuat. Banyak tokoh masyarakat memandang sebelah mata Kiai Fauzi dengan melihat
fisik Kiai Fauzi sehingga memunculkan kata-kata, “masak hitam kecil itu
kiai?,” tubuhnya memang kecil dan hitam kulitan seorang petani yang sering terkena panas matahari. Tapi tidak ada orang yang berani menyanggah apa yang
keluar dari mulut beliau. Kharisma beliaulah yang menarik banyak santri dari
Lasem untuk mengikuti beliau ke Jungpasir atas instruksi dari Kiai Ma’shum.
Juga Gus Syauqi dari Jember “jatuh cinta” kepada sosok Kiai Fauzi dan rela
tinggal di pesantren yang sama sekali belum mapan sarana dan prasarananya
sebagaimana pesantren tempat tinggalnya di Jember.
2.
Tegas dan
Terbuka
Ada banyak tipe
dan karakter kepemimpinan seorang kiai. Diantara berbagai tipe kepemimpinan itu
masing-masing memiliki kelebihan tersendiri. Pastinya, seorang kiai akan
menyesuaikan diri dengan karakter masyarakat, kemudian memilih metode yang
tepat untuk memimpin. Tak lepas dari Kiai Fauzi, banyak narasumber menyimpulkan
bahwa Kiai Fauzi itu kiai yang demokratis. Tapi disini penulis perlu
memperjelas, bukan berarti bila kiai dengan tipe otoriter itu tidak lebih baik.
Kembali lagi pada diri kiai itu, dalam memilih tipe yang paling cocok untuk
membina umatnya. Dengan demokrasi bisa tercipta inovasi untuk berjalan lebih
baik. Dengan otoriter, prinsip dan tujuan tidak mudah tergoyahkan.
Di satu
keadaan, Kiai Fauzi sangat terbuka dan menerima dengan semua masukan. Tapi di
satu keadaan, adakalanya Kiai Fauzi mengambil langkah tegas dengan komitmen
beliau. Semua ini tentu dalam rangka mencapai tujuan dan cita-cita perjuangan
bersama.
Karakter beliau
sebagai seorang Kiai Demokratis begitu tampak saat Kiai Fauzi mengadakan
musyawarah para kiai dan tokoh masyarakat dalam merintis MTs Bandar Alim.
Beliau secara terbuka menerima masukan tentang perubahan nama Al-Ittihad
menjadi Bandar Alim.
Di sisi yang
lain, beliau bersikap tegas dan komitmen saat ada usulan untuk memindahkan
letak bangunan MTs Bandar Alim yang dianggap kurang strategis. Beliau tetap
mempertahankan komitmen dan prinsip beliau, bahwa MTs Bandar Alim harus
diposisikan di tengah desa. Lembaga-lembaga pendidikan harus diletakkan
tersebar rata di seluruh bagian desa, bukan disatukan dalam satu komplek,
dengan harapan agar pendidikan masyarakat bisa merata.
Beliau tidak
memvonis dengan keras dan sepihak atas suatu larangan. Salah satunya ialah
ketika beliau melarang pertunnjukan orkes di desa. Beliau hanya mengambil
sikap, tidak akan hadir dalam undangan mengisi tahlil disana. Bahasa beliau,
mempersilahkan untuk ngaturi kiai lain. Padahal semua kiai itu merujuk kepada
Kiai Fauzi.
Pada tahun
1993, para pemuda dalam wadah organisasi Karang Taruna ingin mengadakan acara
pertunjukan peringatan 17 Agustus. Akan tetapi mereka semua tidak berani karena
mereka mengira bahwa Kiai Fauzi tidak ridla.
Akhirnya, Karang Taruna mendesak untuk sowan kepada Kiai Fauzi meminta
pendapat tentang acara itu. Ternyata, Kiai Fauzi menjawab dengan tegas bahwa
beliau setuju, lalu bertanya bagaimana mekanismenya. Acaranya ialah pertunjukan
pentas seni anak-anak madrasah dari TK sampai MTs. Kiai Fauzi mendukung, dan
beliau menambahkan usulan, bahwa malam tanggal 17 agustus harus diadakan acara
sujud syukur bersama sebagai wujud rasa terima kasih kepada para pejuang, atas
kemerdekaan dan kebebasan yang telah dirasakan bersama. Keputusan Kiai Fauzi
itu merubah pemikiran para pemuda aktivis desa bahwa ternyata Kiai Fauzi itu
sebenarnya terbuka dan demokratis.[13]
3. Ikhlas dan
Dermawan
Kiai Fauzi mengajarkan dan memberikan teladan santrinya untuk ikhlas
dalam mengabdi untuk masyarakat. Selama beliau mengajar di madrasah, bisyaroh
yang beliau terima diberikan kembali untuk kepentingan operasional
madrasah. Saat idul fitri, beliau pernah menerima zakat fitrah mencapai 8
karung, yang setiap karungnya ialah lebih dari 1 kwintal. Semua itu diserahkan
kepada pengurus pondok untuk para santrinya. Di masa hidup beliau, rumah beliau
terbuka kepada santrinya. Santri beliau boleh masuk ke ndalem untuk
minum, tapi tidak boleh mengambil untuk dibawa keluar. Karena beliau
berhat-hati, jangan sampai air minum tidak terminum dan sia-sia.[14]
4.
Akrab dan
Bersahabat
Meskipun
sebagai seorang ulama berwibawa dan kharismatik, Kiai Fauzi tetap bersahabat
dan akrab dengan masyarakat, terlebih dengan santri-santri dan anak muda. Di Desa beliau akrab disapa dengan sebutan
Kang Fauzi. Beliau juga sering
bermain catur dengan santrinya. Permainan catur ini merupakan strategi beliau,
dalam permainan catur ini beliau akan mempelajari dan memahami bagaimana
karakter dan kejiwaan lawannya.
Beliau jarang
dan hampir tidak pernah tidur malam. Beliau selalu keluar berjalan menyusuri
kampung di malam hari.
Beliau mengamati aktivitas kampungnya di malam hari, yang akhirnya beliau
mengetahui siapa dan dimana anak-anak muda yang suka nongkrong malam
dipinggir jalan. Pada satu malam, beliau mengajak seorang anak muda, untuk ikut
dengan beliau untuk jalan-jalan dan
makan-makan enak. Anak itu senang dan mau ikut. Kiai Fauzi membawa anak itu
berangkat dengan mobil jemputan untuk hadir mengisi ceramah di acara pengajian
besar. Sejak itu anak muda tadi menjadi halus tak berkutik, ia sadar, dan
menjadi sangat sungkan kepada Kiai Fauzi.
5.
Ahli Fiqih
yang Cerdas
Didukung dengan
cara berpikir yang maju, Kiai Fauzi juga merupakan sosok yang cerdas,
sampai-sampai Kiai Fauzi itu sering dijuluki “kitab melaku.” Beliau seakan hafal berbagai macam kitab. Dimanapun dan kapanpun semua persoalan hukum yang ditanyakan
siapapun dijawab beliau seketika. Tentunya, hal ini sangat diperlukan dalam
mengurai khazanah keilmuan islam terutama referensi klasik kitab kuning dalam
menjawab tantangan perubahan zaman untuk disesuaikan dengan praktek keislaman. Dari kemampuannya itu, beliau sangat
menonjol dalam berbagai forum Bahtsul Masail di Kabupaten Demak, Jawa
Tengah, sampai ke Muktamar NU.
Bahkan dalam bahtsul masail thariqah, Kiai Salman Popongan yang paling terkenal
sebagai mursyid thariqah tidak berkenan memberikan keputusan dalam bahtsul
masail selagi masih ada Kiai Fauzi. Beliau jugalah yang membuka pemikiran rekan-rekan
beliau di desa dalam bahtsul masail se-Jungpasir tiap selapan, sebulan sekali. Yang semakin hari kemudian dilanjutkan di
lingkungan santri sendiri sampai sekarang. Untuk mengenang spesialis beliau di
bidang ini, setiap tahun haul beliau diadakan acara bahtsul masail kubro antar pesantren se-jawa.
6.
Kiai Sufi dan Kiai Jawa
Corak sufistik menghiasi karakter para kiai jawa termasuk Kiai Fauzi.
Apa yang beliau peroleh dari berkelana kepada para kiai guru beliau,
mendapatkan ijazah berupa amalan-amalan puasa dan wirid. Beliau memberikan
ijazah kepada para santri untuk puasa 3 sampai 6 tahun dengan mengamalkan
membaca wirid Sholawat Dalailul Khoirot, kitab shalawat yang terkenal karya
Syaikh Sulaiman al-Jazuli. Dan juga setiap tahun memberikan ijazah wirid Asmaul
Husna yang diamalkan dengan puasa mutih selama 41 hari. Juga wirid-wirid
yang dibaca di pesantren setiap sehabis sholat itu semua merupakan ijazah dari
Kiai Fauzi. Wirid dan Ijazah adalah sesuatu yang sangat penting dalam
lingkungan komunitas Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah di seluruh dunia.
7. Penggemar
Sepakbola
Kiai Fauzi adalah seorang penggemar sepakbola. Beliau bahkan tak jarang
meliburkan jadwal ngajinya untuk mengajak para santri untuk menonton
pertandingan sepakbola bersama di TV. Hal ini terbilang unik dan aneh bagi
seorang kiai. Mungkin hal ini salah satu bentuk pendekatan emosional beliau
dengan anak-anak santri. Beliau tetap mempunyai keistiqomahan, setelah nonton
harus tetap ngaji, tidak ada kata libur untuk ngaji meskipun nonton bola. Kiai
Fauzi juga mewajibkan pada santri-santri beliau untuk berolahraga dua kali
setiap minggu.
8.
Banyak
Keramat
Kiai Fauzi
adalah sosok yang seakan-akan dikeramatkan oleh masyarakat saking begitu besar
pengaruhnya. Beliau terkenal doanya makbul dan ucapannya menjadi kenyataan.
Diantaranya beliau pernah mengucapkan, “nanti, antara rumah saya sampai masjid
sana rumah-rumah akan menjadi bangunan bertingkat.” Itu adalah isyarat akan
meningkatnya taraf ekonomi masyarakat dikemudian hari. Padahal kata-kata itu
keluar ketika pada masa carut-marutnya perekomian Indonesia tahun 1965.
Pada masa
peristiwa pemberontakan PKI pada tahun 1965, beliau pernah membekali santri
beliau dengan ijazah ilmu-ilmu kanuragan. Namun setelah berlalu masa ancaman
PKI itu, ijazah yang beliau berikan itu diminta kembali. Meskipun beliau adalah
orang yang sakti dan ahli ilmu kanuragan, beliau tidak mau mengajarkan kepada
santrinya, karena hal itu dianggap kurang penting dan berbahaya bagi kejiwaan
mereka.
Apa yang lebih
bermanfaat bagi para santri ialah apa yang diharapkan oleh beliau dalam doanya,
agar semua santri beliau menjadi orang yang bermanfaat. Kalau santri tidak
menjadi kiai atau ilmunya bermanfaat, ia diberi kelebihan dalam harta benda
untuk mendukung jalan dakwah. Ada diantara santri beliau menjadi kiai besar
yang mengasuh pesantren dengan santri ribuan, jumlah yang lebih besar dari
jumlah santri beliau sendiri yang tidak mencapai angka 500. Ada juga diantara
santri beliau yang sangat sulit ekonominya waktu belajar di pondok, tapi
kemudian menjadi orang yang kaya raya dan sangat dermawan.
Pernah suatu
ketika, santri alumni beliau yang bekerja di Jakarta mendapat kabar bahwa
pondoknya sedang ada pembangunan, sedang ia sendiri tak punya uang. Ia
memaksakan diri untuk berhutang beberapa juta kepada bosnya untuk disumbangkan
pembangunan pesantren. Ketika ia kembali ke pondok, ia mendapatkan rizki yang
tak terduga asalnya yang lebih dari jumlah uang yang disumbangnya.
Banyak santri
beliau yang mendapatkan dhawuh secara khusus yang menggambarkan masa
depan santri tersebut akan sebuah isyarat mengenai tantangan yang akan
dihadapinya atau takdir yang akan dijalani santrinya tersebut.
Kiai Fauzi dulu
pernah beberapa kali menikahkan jin, dan hal ini sering disaksikan oleh santri
beliau sekitar jam 2 malam. Hanya saja pada saat itu santrinya baru ada 10 orang.
Ada lampu stongkring terpasang dan tidak ada siapa-siapa kecuali Kiai Fauzi
yang terlihat dalam remang-remang dengan suaranya menikahkan orang. Pada saat
itulah acara walimah yang dihadiri para jin.
Ketika Kiai Fauzi menghadiri acara, menurut adat yang berlaku,
biasanya ada 2 amplop. Satu untuk sumbangan masjid, dan satu lagi bisyaroh
kiai. Dan biasanya amplop untuk masjid nominalnya harus lebih besar, namun
khusus untuk menghadirkan Kiai Fauzi, panitia mengalokasikan nominal yang lebih
besar untuk kiai daripada untuk masjid. Alasannya, hal ini sudah diyakini pasti
apa yang diberikan pada Kiai Fauzi lebih besar, pasti berkahnya nanti lebih
besar.
[1] Wawancara Kiai Haji Misbahuddin pada pukul 16.00 WIB
tanggal 5 September 2016.
[2] Wawancara
dengan Kiai Farokhi pada tanggal 19 Agustus 2016 pukul 09.00 WIB di kediaman
beliau, kompleks pesantren Al-Ittihad.
[3] Wawancara
dengan Kiai Ahmad Hasyim di Kantor MTs Bandar Alim Jungpasir, pada tanggal 29
Agustus 2016 pukul 11.00 WIB.
[4] Wawancara
dengan Kiai Farokhi pada tanggal 19 Agustus 2016 pukul 09.00 WIB di kediaman
beliau, kompleks Pesantren Al-Ittihad.
[5] Wawancara
dengan Kiai Ahmad Hasyim di Kantor MTs Bandar Alim Jungpasir, pada tanggal 29
Agustus 2016 pukul 11.00 WIB.
[6] Wawancara dengan Kiai Abdul Bashir pada pukul
20.00 WIB tanggal 5 September 2016 di kediaman beliau (Desa Pasir Mjien Demak).
[7] Wawancara
dengan Kiai Farokhi pada tanggal 19 Agustus 2016 pukul 09.00 WIB di kediaman
beliau, kompleks pesantren Al-Ittihad.
[8] Wawancara
dengan Bapak Khoirul Ulum Kepala Madrasah Tsanawiyah Bandar Alim Jungpasir,
pukul 11.00 di Kantor Madrasah Tsanawiyah Bandar Alim Jungpasir tanggal 29
Agustus 2016.
[9] Wawancara
dengan Kiai Ahmad Hasyim di Kantor MTs Bandar Alim Jungpasir, pada tanggal 29
Agustus 2016 pukul 11.00 WIB.
[10] Wawancara dengan Kiai Farokhi pada tanggal 19 Agustus 2016 pukul
09.00 WIB di kediaman beliau, kompleks pesantren Al-Ittihad.
[11] Wawancara
dengan Kiai Farokhi pada tanggal 19 Agustus 2016 pukul 09.00 WIB di kediaman
beliau, kompleks pesantren Al-Ittihad.
[12] Wawancara dengan Bapak Khoirul Ulum Kepala Madrasah Tsanawiyah
Bandar Alim Jungpasir, pukul 11.00 di Kantor Madrasah Tsanawiyah Bandar Alim
Jungpasir tanggal 29 Agustus 2016.
[13] Wawancara
dengan Bapak Khoirul Ulum Kepala Madrasah Tsanawiyah Bandar Alim Jungpasir,
pukul 11.00 di Kantor Madrasah Tsanawiyah Bandar Alim Jungpasir tanggal 29
Agustus 2016.
[14] Wawancara dengan KH. Abdul Jalal pada pukul 14.30 WIB
tanggal 4 September 2016 di rumah beliau (Komplek Pesantren Al-Ittihad) Desa
Jungpasir.

Komentar
Posting Komentar