Riwayat Hidup Pendiri PP. Al Ittihad Demak

Riwayat Hidup Kiai Fauzi Noor


Kiai Haji Fauzi Noor (lahir di Jungpasir, 27 Agustus 1943 – meninggal pada 19 Januari 1999 pada usia 56 tahun) adalah seorang tokoh perjuangan pendidikan di Demak, khususnya di Desa Jungpasir sebagai tempat tinggal dan kelahiran beliau. Beliau merintis berdirinya Pondok Pesantren Al-Ittihad di kediaman beliau sendiri, dan juga memprakarsai berdirinya lembaga-lembaga pendidikan formal di Desa Jungpasir.

1.      Silsilah Keluarga

Nama lengkap silsilah beliau ialah Kiai Haji Fauzi Noor bin Haji Manshur bin Sarjan. Haji Mansur ialah seorang modin dan tinggal di Desa Jungpasir berlatar belakang pendidikan pesantren. Beliau berasal dari Desa Tedunan, desa yang tidak jauh dari Jungpasir. Bapak Sarjan ialah seorang kepala Desa Tedunan. Beliau juga masih punya hubungan kerabat dengan tokoh kiai besar dari Desa Tedunan, Kiai Haji Abdul Hadi dan Kiai Haji Abdurrahim.

Dari kecerdasan dan potensinya sebagai santri, Haji Mansur menikah dengan Hj. Asmanah putri H. Sulaiman yang terpandang di Desa Jungpasir. Kisahnya, namanya Mansur ialah setelah menunaikan ibadah haji bersama dan atas biaya H. Sulaiman. Yang sebelumnya Mansur bernama Adnan.

Dari keluarga Haji Manshur dan Hj. Asmanah, dalam keluarga sederhana namun kental dengan nuansa islami inilah, lahir putra-putri yang meneruskan cita-cita ayahnya, yaitu;

1.      KH.  Abdussalam

2.      KH. Asymuni

3.      Hj. Zulfa

4.      KH. Fauzi Noor

5.      KH. Farokhi

6.      Nyai Mastikah

Dari 6 bersaudara ini, yang paling berperan dalam membentuk karakter seorang Fauzi Noor ialah kakaknya, KH. Abdussalam, yang banyak memberikan arahan dalam pendidikan Kiai Haji Fauzi Noor, dan adiknya, KH. Farokhi juga banyak menemani dalam menjalani langkah-langkah belajar beliau. Haji Manshur wafat sekitar tahun 1950, sedangkan Kiai Abdussalam wafat pada tahun 1980.[1]

2.      Pendidikan

a.      Masa Kecil

     Riwayat sejarah pendidikan beliau ialah menggembala kambing sejak kecil bersama adiknya, Kiai Farokhi. Pernah suatu saat ia bermimpi bahwa kakaknya, KH. Abdussalam tengah berternak bebek, yang merupakan pertanda bahwa KH. Abdussalam berkiprah dalam pendidikan anak-anak belajar Al-Quran di Madrasah Diniyah sebagai seorang pendiri dan kepala madrasah pertama. “Mungkinkah aku nanti akan menggembalakan manusia-manusia yang lebih besar seperti kambing-kambingku ini?,” hal ini diceritakan oleh adik beliau, KH. Farokhi.

     Pendidikan formalnya dimulai dari bangku SD di desa Mutih Kulon yang tak jauh dari Jungpasir. Dan juga belajar ilmu agama setiap sore di bangku Madrasah Diniyah dalam bimbingan kakaknya, KH. Abdussalam. Ia mengisi waktu luangnya dengan menggembala kambing bersama Farokhi adiknya.

b.      Sekolah dan Mondok

     Haji Mansur mempunyai cita-cita agar Fauzi juga saudara-saudaranya belajar di pesantren dan menjadi kiai meneruskan perjuangan sang ayah. Oleh karena itu, setamat pendidikan dasar, Fauzi dipondokkan di Pondok Pesantren Al-Fattah Kembangan Demak.[2] Akan tetapi Kiai Fauzi “mencuri” waktu untuk menimba ilmu di sekolah umum PGA Demak. Setelah 1 tahun dan dikemudian hari ayahnya mengetahui, ia dipindah.[3]

     Beliau dipindahkan ke pesantren KH. Sholeh Gleget di Mayong Jepara selama 2 tahun. Belakangan kemudian diketahui ternyata meskipun tidak sekolah Fauzi masih suka membuka mata pelajaran umum, kemudian dipindah di Pesantren Salafiyah Kajen, dibawah asuhan Kiai Baidhowi.

     Di Kajen, Fauzi masih punya semangat sekolah, ia masih saja mencuri waktu untuk belajar di Sekolah Menengah Islam (sekolah setara SMP/Sederajat). Akan tetapi sekolah itu hanya dijalaninya selama setahun.[4]

     Pengalaman belajar di Kajen yang dijalaninya selama 3 tahun inilah yang menjadi motivasi beliau dalam perjuangan di masyarakat nanti.[5]

     Beliau merasa terbuka dan tenang dalam kesibukannya belajar ilmu agama. Disamping itu, ia juga bertekad menjalani puasa. Ia memperoleh amalan Puasa Dala’il dari Kiai Ahmad Ibrahim dan Kiai Yasin Mbareng. Ditambah lagi lebih dalam dari Kiai Sa’id Rowo Kirik Kudus.

c.       Mengabdi pada Kiai Ma’shum

     Di Kajen, beliau pernah bermimpi bahwa dirinya menghabiskan nasi makanan santri seluruh pondok. Mimpinya tersebut dihaturkan kepada Kiai Baidlowi. Kiai Baidlowi mengartikan bahwa itu isyarat bahwa Fauzi itu akan menghabiskan ilmunya orang sepondok. Masa belajarnya di Kajen 3 tahun ini dicukupkan, dan sementara itu abahnya mendapatkan dhawuh agar Fauzi dipindah ke Lasem. Diantar oleh kakaknya, Kiai Abdussalam, mondok di Pesantren Al-Hidayah dibawah asuhan Kiai Ma’shum Lasem.

     Dari penututran Kiai Farokhi, Kiai Fauzi sering terjaga di waktu malam untuk tahajud, bermunajat, dan belajar. Kiai Fauzi seringkali keluar malam ke halaman pondok memandang lingkungan sekitar, memandang langit dan bumi.

     Masih dianggap anak baru, yang belum genap mondok 2 tahun, suatu ketika Mbah Ma’shum membuat pengumuman tertulis dengan tangan beliau sendiri, bahwa nanti yang akan membaca kitab ialah Fauzi Noor Demak.[6] Sejak itulah reputasi beliau sebagai santri melebihi santri-santri yang lebih senior. Beliau menjadi pengajar, yang sering menggantikan (menjadi badal) Kiai Maksum mengajar ketika sedang ada udzur. Kiai Ma’shum selalu menyebutnya “Jago Demak”. Pada awalnya Kiai Fauzi merasa tidak yakin akan kemampuan dirinya, namun Mbah Ma’shum berpesan, ketika menjumpai kesulitan bacakan saja Surat Al-Fatihah untuknya dan pengarang kitab yang sedang dibaca. Dan ternyata memang benar, seolah ada yang memberikan pengertian dan menjadikan beliau faham seketika. Sejak itulah beliau tidak pernah menjumpai kesulitan apapun dalam khazanah keilmuan kitab-kitab salaf disekelilingnya.

     Di saat-saat tertentu ketika bahtsul masail ada orang yang membantah pemahaman beliau terkadang beliau terlanjur mengatakan kehadiran muallif dan muallif sendiri yang mengatakan kepada beliau.

     Kiai Fauzi mengikuti forum-forum Bahtsul Masail Kubro antar pesantren. Sejak itulah publik mulai mengenal sosok Kiai Fauzi. Setelah menikah dan punya santri di kampung halamannya, beliau masih berangkat ke Lasem setiap Sya’ban sampai Ramadhan untuk mengajar.

     Dari pengalaman santri beliau di Lasem, ketika Kiai Fauzi menarget khatam Kitab Shahih Muslim selama 21 hari, maka mengajinya setiap hari sehabis isya’ duduk bersila ngasahi kitab sampai jam 1 malam.

     Di Lasem beliau juga sempat untuk belajar kepada beberapa kiai. Diantaranya, beliau mengikuti kajian kitab Al-Itqan pada persinggahan rihlah safari Kiai Dimyathi Pandeglang Banten selama beberapa bulan. Kiai Fauzi menjadi kenal dan dekat dengan Kiai Dimyathi dalam masa singgahnya untuk mengajar di Masjid Lasem. Setelah khatam, Kiai Fauzi mengikuti perjalanan Kiai Dimyathi ke Rembang, mengaji kitab yang lain selama setahun.

     Kiai Fauzi juga sempat berguru Thariqah Naqsyabadiyah kepada Kiai Abdullah Khafid Rembang.

3.      Menikah

                        Beliau menikah dengan Nyai Hj. Amin Zahroh, putri H. Abdur Rohim yang berlatar belakang keluarga terpandang, dalam usia yang terpaut sangat jauh. Kiai Fauzi dalam usia mudanya, 24 tahun, sedangkan Nyai Hj. Amin Zahroh dalam usia masih kecil, 12 tahun. Mertuanya inilah yang membiayai ongkos untuk kembali ke Lasem.[7]

                        Memang menjadi tradisi di masa dulu, santri yang punya potensi besar dan pengaruh akan mendapat banyak dukungan secara moril maupun materil oleh masyarakat, terlebih dari kalangan orang terpandang yang peduli pendidikan, banyak juga santri itu yang akhirnya menjadi bagian keluarga tersebut. Tak terkecuali Kiai Fauzi.[8]

            Pernikahan Kiai Haji Fauzi Noor dengan Nyai Hj. Amin Zahroh melahirkan putra-putri yang melanjutkan perjuangan beliau;

1.    Syaiful Aziz (Alm.)

2.    Minhatun (Alm.)

3.    Hj. Elok Hafidhoh (KH. Abdur Rohim)

4.    KH. A gus Mansur (Hj. Ulin N i’mah)

5.    Ma’shumatul Faidhoh (Firdaus Hendarto)

6.    Lailatul Fajriyah (Ahmad yusuf)

7.    Amirotul Azizah (M. Misbakhul Munir)

8.    Chilyatus Zamzami (Alm.)

9.  Syarifatul Mukarromah

4.      Panggilan ke Tanah Suci

Beliau pertama kali mengunjungi Tanah Suci untuk berhaji pada tahun 1975. Sampai wafat beliau telah menunaikan haji 6 kali. Kunjungan ke tanah suci pada waktu itu menggunakan kendaraan kapal, sehingga setiap kunjungan beliau ke tanah suci memakan waktu sampai lebih dari 3 bulan.

5.      Wafat

Kiai Fauzi meninggal dunia setelah Shalat Isya tepat pada malam Hari Raya Idul Fitri, 1 Syawal 1420 Hijriyah bertepatan tanggal 19 Januari 1999, dalam usia 56 tahun. Menjelang wafat, kesehatan fisik beliau memang kurang baik, tapi masih aktif mengajar dan mengimami sholat. Sampai akhirnya sakit beliau yang parah dirujuk ke Rumah Sakit Islam Kudus dan berpulang ke rahmatullah.

Ada ribuan peziarah saat prosesi pemakaman beliau. Ini menandakan bahwa beliau merupakan seorang kiai karismatik yang menjabat sebagai Rois Syuriah Demak 2 periode yang mempunyai pengaruh besar di lingkungan masyarakat Demak dan sekitarnya. Saking banyaknya peziarah yang ikut menshalatkan beliau, keranda jenazah beliau tidak dipikul, tapi berjalan diangkat secara estafet oleh tangan-tangan para peziarah dengan rapi sampai ke lokasi pemakaman.[9]

Beliau dimakamkan di komplek pemakaman Desa Jungpasir. Makam beliau begitu sederhana hanya diberi batas persegi panjang dengan gundukan batu-batuan kecil berwarna putih. Makamnya bertuliskan “K.H. Fauzi Noor, wafat 1 Syawal 1420 H,” disamping makam KH. Abdussalam kakak beliau, dan orangtua beliau H. Mansur dan Hj. Asmanah.

A.    Peran dan Kiprah Kiai Fauzi dalam Pengembangan Masyarakat

Kiai Fauzi pernah merasa gelisah memandang Desa Jungpasir hanya berputar dalam bidang pertanian. Dari sini beliau memandang bahwa keadaan ini tidak akan bisa mencetuskan cita-cita tinggi Jungpasir. Beliau juga mendapat pengarahan dari KH. Abdurrahim Tedunan seorang ulama sepuh mursyid terkenal Thariqah Naqsyabandiyah, dalam perjuangan dakwah beliau. Kiai Farokhi menuturkan, bahwa memang sejak kecil Kiai Fauzi dan saudara-saudaranya sering berkunjung silaturrahmi ke Kiai Haji Abdul Hadi dan Kiai Haji Abdurrahim di Tedunan.[10]

1.      Mendirikan Pesantren

           Pada tahun 1971 Kiai Fauzi pulang ke kampung halaman dan mulai mengabdikan diri dalam pemberdayaan masyarakat. Namun beliau masih pulang-pergi ke Lasem, untuk mengajar setiap Syakban sampai Ramadhan. Ada sekitar 10 anak santri menetap dan anak kampung yang ikut mengaji berangkat dari rumah. Pesantren saat itu belum memiliki bangunan dan belum ada namanya. Para santri ditempatkan di 2 kamar sederhana kepunyaan Kiai Abdussalam. Mengajinya di rumah Kiai Abdurrahim Jungpasir mertua beliau yang jaraknya agak jauh. Santri-santri angkatan pertama ialah murid beliau dari Lasem yang ingin melanjutkan mengaji kepada Kiai Fauzi atas instruksi dari Mbah Ma’shum sendiri.

           Kiai Fauzi baru benar-benar menetap di Jungpasir pada tahun 1976. Beliau menghidupkan kegiatan majelis ta’lim untuk masyarakat belajar tata cara sholat setiap Hari Selasa, karena pada saat itu tidak sedikit juga orang yang belum benar bahkan belum bisa sholat. Dan setiap Hari Jumat diadakan kajian kitab. Banyak orang yang senang mendengarkan ceramah dan nasehat beliau.

           Awal mula pesantren itu bernama “Nahdlatut Talamidz” yang artinya “kebangkitan murid-murid.” Dengan sebuah bangunan gubuk bambu dengan tiang penyangga dari kayu jati.

           Pada perkembangannya, pesantren itu mendapat dukungan kuat dari berbagai lapisan masyarakat. Maka semangat persatuan gotong royong ini dijaga dalam perubahan nama menjadi “Al-Ittihad.” Banyak anak-anak desa dan sekitar ikut mengaji di pondok. Ada banyak santri mukim dari daerah yang jauh, tapi banyak juga santri kalong dari desa sendiri dan desa-desa tetangga.

           Diantara berbagai dukungan yang masuk, ada beberapa respon negatif dari sebagian kecil golongan dan masyarakat dengan berbagai dalih, namun itu semua tidak menjadi penghalang perjuangan Kiai Fauzi. Hal ini merupakan suatu hal yang wajar dalam setiap perjuangan selalu dihadang rintangan. Dzikir-dizikir berjama’ah yang dibaca di pesantren menjadi tameng ruhaniyah para santri.[11]

           Asal mula penerimaan santri putri diawali kehadiran seorang santri dari Sumatra untuk nyantri dengan membawa istrinya. Disamping itu, putri pertama Kiai Fauzi, yakni Nyai Hj. Elok Hafidzoh telah pulang dari pesantren Lasem. Beliau juga seorang penghafal quran alumni Pondok Pesantren Yanbu’ul Quran asuhan Kiai Arwani Kudus. Banyak juga minat dari masyarakat kalangan perempuan untuk mengaji di Pesantren Al-Ittihad. Sejak tahun 1955, Pesantren Al-Ittihad telah membuka pendaftaran bagi santri putri untuk menghafal Al-Quran dibawah bimbingan Hj. Elok Hafidzoh.

           Pada saat ini, kepemimpinan Pondok Pesantren Al-Ittihad diwarisi oleh putra beliau, KH. Agus Mansur, M. Eng, Sc. dibantu oleh KH. Abdur Rohim, yang merupakan santri sekaligus menantu Kiai Fauzi sendiri, suami dari Ibu Nyai Hafidzoh.

2.      Mendirikan Madrasah

Kiai Fauzi juga berkiprah membangun madrasah di Desa Jungpasir. Meskipun tidak semua madrasah, tapi pelopor utama yang menggerakkan masyarakat untuk berbenah dalam bidang pendidikan ialah Kiai Fauzi. Pada mulanya telah berdiri Madrasah Diniyah yang didirikan Kiai Abdussalam, yang dikembangkan oleh Kiai Fauzi menjadi sampai ke jenjang Wustho dan Ulya bagi anak pondok dan umum. Kiai Fauzi mengawasi perkembangan lembaga-lembaga pendidikannya dalam yayasan yang menaungi Pesantren Al-Ittihad, yakni Yayasan Al-Ittihad Al-Manshuriyah.. Pada perkembangannya, Yayasan Al-Ittihad Al-Manshuriyah menaungi beberapa lembaga pendidikan mulai dari PAUD, TK, TPQ, sampai akhirnya pada tahun 2011 melahirkan SMK Multimedia Al-Ittihad.

Kiai Fauzi juga menggagas berdirinya sekolah formal MI dan MTs. MI Al-Ittihad kemudian lepas dari naungan yayasan Al-Ittihad Al-Manshuriyah karena berubah statusnya menjadi negeri. Adapun MTs dan MA berada dibawah Yayasan Pendidikan dan Kesejahteraan Muslimin yang diberdayakan oleh masyarakat.

a.      MI Negeri Jungpasir

Sebelumnya, lembaga pedidikan formal hanyalah SDN Jungpasir dan dipandang kurang begitu berperan dalam mendidik masyarakat Jungpasir. Maka Kiai Fauzi dan Kiai Abdussalam menggagas berdirinya sebuah madrasah tingkat dasar.

Pada tahun 1969, musyawarah pertama pendirian itu dilaksanakan pada Hari Jumat pagi, berjumlah 7 orang di kantor organisasi islam Jungpasir (sekarang Kantor MTs Bandar Alim), kemudian berdirilah MWB (Madrasah Wajib Belajar) di sebelah Masjid Jungpasir.

     Pada tahun 1970, MWB yang pada saat itu hanya sampai jenjang kelas 3, berubah menjadi MI Al-Ittihad yang sampai kelas 6. Sampai tahun 1985, jumlah siswa mencapai 143 anak. Kepala MI Al-Ittihad pertama ialah Kiai Abdussalam, lalu dilanjutkan Kiai Fauzi Noor, kemudian Kiai Ahmad Hasyim. Sejak tahun 1971 kepemimpinan di pegang oleh Kiai Misbah.

Pada tahun 1991, MI Al-Ittihad masih sangat kekurangan dana untuk biaya operasional, akhirnya mengajukan usulan pada pemerintah untuk dinegerikan. Akhirnya menjadi MIN Jungpasir dengan SK Pemerintah tertanggal 25 November 1995. Kiai Misbah masih menjadi kepala madrasah lagi sampai tahun 2003. Jabatan kepala madrasah dipegang oleh Ibu Mutomimah, S. Pd. I. sampai sekarang.

b.      MTs Bandar Alim Jungpasir

     Secara umum, latar belakang didirikannya MTs Bandar Alim Jungpasir ialah menciptakan lembaga pendidikan yang lebih tinggi untuk pemberdayaan masyarakat. Melihat keberhasilah dalam merintis MIN Jungpasir, akhirnya memunculkan ide untuk mengembangkan lembaga pendidikan yang lebih tinggi, yaitu merintis sebuah Madrasah Tsanawiyah tepatnya pada pertengahan tahun 1977.

     Pada Bulan September 1977 MTs Al-Ittihad telah melangsungkan kegiatan belajar-mengajar dengan 10 siswa yang sebagian besar dari anak pondok dan sebagian kecil dari anak kampung. Fasilitas madrasah masih serba kekurangan. Para pengajarnya ialah para pendiri dari tokoh-tokoh masyarakat, diantaranya ialah;

1.      Kiai Fauzi sendiri sebagai kepala sekolah,

2.      Bapak H. Ali Asrori, akrab dengan sapaan “Pak Carik”

3.      Pak Abdullah Nashir,

4.      Pak Samsul Hadi,

5.      Pak Sayuti Anwar, dan

6.      Pak Baidhowi Marzuki, beliau ikut menjadi tenaga pengajar sejak masih belajar di bangku MA.

Karena berbagai kekurangan dan kendala, akhirnya pada Bulan April 1978 kegiatan belajar-mengajar di MTs Al-Ittihad berhenti. 2 tahun kemudian, sekitar tahun 1980-an, Kiai Fauzi berusaha menghidupkan lagi. Beliau mengumpulkan para kiai dan tokoh Masyarakat, diantaranya ialah; KH. Ubaidun Shofwan, KH. Sholeh Zainuri, dan KH. Ahmad Hasyim.

     Dari musyawarah tersebut, ada usulan dari KH. Soleh Zainuri untuk merubah nama Al-Ittihad dengan tujuan agar timbul kesan bahwa MTs ini ialah milik bersama seluruh lapisan masyarakat. Akhirnya Kiai Fauzi menyetujuinya.[12]

     Nama baru yang disepakati ialah Bandar Alim. Yang artinya Desa Jungpasir ini ialah tempat berlabuhnya orang-orang alim. Nama Bandar Alim ini ialah sebenarnya nama Dukuh Bajangan. Sejarah dari Dukuh Bajangan pernah diberi julukan Bandar Alim karena banyak orang-orang alim di Dukuh ini. Namun, dikembalikan menjadi Bajangan, agar nama tokoh bersejarah “Mbah Bajang di Desa Jungpasir khususnya Dukuh Bajangan ini tetap hidup dan dikenang.

     Mengenai letak geografis, dulu ada perselisihan diantara para founding fathers. Ada diantaranya yang berpendapat bahwa letak posisinya kurang strategis, juga tidak berkumpul dalam satu komplek yang besar. Tapi Kiai Fauzi punya komitmen, bahwa jenjang lembaga pendidikan harus disebar rata di seluruh desa, dengan harapan bahwa nantinya pendidikan anak Desa Jungpasir bisa merata. Dan MTs ini memang harus ada di tengah desa. Sebelumnya telah berdiri MI di sebelah utara, dan sebelah barat jauh-jauh hari telah berdiri SD.

     Sekitar tahun 1983, jumlah siswa sudah mencapai angka 500. Karena pada saat ini ada beberapa lembaga pendidikan sederajat baru yang didirikan, perkembangan kuantitas menurun, pada tahun ini ada 337 anak. Sampai tahun ini, MTs Bandar Alim telah meluluskan sekitar hampir 4.000 siswa.

     Meskipun kurikulum mengacu pada Kementrian Agama, pihak madrasah punya komitmen menambah penekanan pada mata pelajaran Islam, terkhusus pada kitab kuning, seperti Ta’limul Muta’allim, Faroidl, dan Nahwu-Shorof yang lebih utama. Juga program hafalan bersertifikat, yang menjadi syarat kenaikan kelas, diantaranya; Asmaul Husna dan Juz Amma untuk kelas 7, Surat Yasin dan Al-Waqiah untuk kelas 8. Dan hafalan itu semua berijazah dari para kiai sepuh, dengan keyakinan bahwa sanad ijazah itu nanti pasti ada berkahnya. Adapun tahlil tidak dimasukkan karena dianggap telah familiar.

3.      Karir Organisasi

                        Karir organisasi beliau ialah sejak memulai berkiprah di desa, beliau menjadi sentral semua bidang dakwah di Jungpasir, terlebih dalam organisasi NU. Kiprah beliau dalam organisasi NU dimulai di desa, semenjak meninggalnya kakak beliau, Kiai Abdussalam di tahun ’80-an, Kiai Fauzi menggantikannya sebagai Ketua NU Ranting Jungpasir dan menghidupkan kembali kegiatan yang pernah berhenti beberapa waktu semenjak wafatnya Kiai Abdussalam. Mulai tahun 1988 beliau menghubungkan NU Ranting Jungpasir dengan Anak Cabang, Wedung agar lebih luas kiprahnya, karena saat itu dipandang selama ini NU Ranting hanya berputar dalam perkumpulan jamiyahan, dan ngaji.

            Sejak tahun 1990-an beliau sudah berkiprah di NU Kabupaten, sampai akhirnya menjadi Rois Syuriah NU Demak sekitar tahun 1995 dan terpilih lagi sampai beliau wafat. Beliau juga dipilih menjadi anggota wakil utusan PW. NU Jawa Tengah dalam bahtsul masail Nasional dan Muktamar NU.

B.     Karakter dan Kepribadian Kiai Fauzi

1.      Kharismatik

Beliau memiliki daya tarik yang kuat. Banyak tokoh masyarakat memandang sebelah mata Kiai Fauzi dengan melihat fisik Kiai Fauzi sehingga memunculkan kata-kata, “masak hitam kecil itu kiai?, tubuhnya memang kecil dan hitam kulitan seorang petani yang sering terkena panas matahari. Tapi tidak ada orang yang berani menyanggah apa yang keluar dari mulut beliau. Kharisma beliaulah yang menarik banyak santri dari Lasem untuk mengikuti beliau ke Jungpasir atas instruksi dari Kiai Ma’shum. Juga Gus Syauqi dari Jember “jatuh cinta” kepada sosok Kiai Fauzi dan rela tinggal di pesantren yang sama sekali belum mapan sarana dan prasarananya sebagaimana pesantren tempat tinggalnya di Jember.

2.      Tegas dan Terbuka

Ada banyak tipe dan karakter kepemimpinan seorang kiai. Diantara berbagai tipe kepemimpinan itu masing-masing memiliki kelebihan tersendiri. Pastinya, seorang kiai akan menyesuaikan diri dengan karakter masyarakat, kemudian memilih metode yang tepat untuk memimpin. Tak lepas dari Kiai Fauzi, banyak narasumber menyimpulkan bahwa Kiai Fauzi itu kiai yang demokratis. Tapi disini penulis perlu memperjelas, bukan berarti bila kiai dengan tipe otoriter itu tidak lebih baik. Kembali lagi pada diri kiai itu, dalam memilih tipe yang paling cocok untuk membina umatnya. Dengan demokrasi bisa tercipta inovasi untuk berjalan lebih baik. Dengan otoriter, prinsip dan tujuan tidak mudah tergoyahkan.

Di satu keadaan, Kiai Fauzi sangat terbuka dan menerima dengan semua masukan. Tapi di satu keadaan, adakalanya Kiai Fauzi mengambil langkah tegas dengan komitmen beliau. Semua ini tentu dalam rangka mencapai tujuan dan cita-cita perjuangan bersama.

Karakter beliau sebagai seorang Kiai Demokratis begitu tampak saat Kiai Fauzi mengadakan musyawarah para kiai dan tokoh masyarakat dalam merintis MTs Bandar Alim. Beliau secara terbuka menerima masukan tentang perubahan nama Al-Ittihad menjadi Bandar Alim.

Di sisi yang lain, beliau bersikap tegas dan komitmen saat ada usulan untuk memindahkan letak bangunan MTs Bandar Alim yang dianggap kurang strategis. Beliau tetap mempertahankan komitmen dan prinsip beliau, bahwa MTs Bandar Alim harus diposisikan di tengah desa. Lembaga-lembaga pendidikan harus diletakkan tersebar rata di seluruh bagian desa, bukan disatukan dalam satu komplek, dengan harapan agar pendidikan masyarakat bisa merata.

Beliau tidak memvonis dengan keras dan sepihak atas suatu larangan. Salah satunya ialah ketika beliau melarang pertunnjukan orkes di desa. Beliau hanya mengambil sikap, tidak akan hadir dalam undangan mengisi tahlil disana. Bahasa beliau, mempersilahkan untuk ngaturi kiai lain. Padahal semua kiai itu merujuk kepada Kiai Fauzi.

Pada tahun 1993, para pemuda dalam wadah organisasi Karang Taruna ingin mengadakan acara pertunjukan peringatan 17 Agustus. Akan tetapi mereka semua tidak berani karena mereka mengira bahwa Kiai Fauzi tidak ridla. Akhirnya, Karang Taruna mendesak untuk sowan kepada Kiai Fauzi meminta pendapat tentang acara itu. Ternyata, Kiai Fauzi menjawab dengan tegas bahwa beliau setuju, lalu bertanya bagaimana mekanismenya. Acaranya ialah pertunjukan pentas seni anak-anak madrasah dari TK sampai MTs. Kiai Fauzi mendukung, dan beliau menambahkan usulan, bahwa malam tanggal 17 agustus harus diadakan acara sujud syukur bersama sebagai wujud rasa terima kasih kepada para pejuang, atas kemerdekaan dan kebebasan yang telah dirasakan bersama. Keputusan Kiai Fauzi itu merubah pemikiran para pemuda aktivis desa bahwa ternyata Kiai Fauzi itu sebenarnya terbuka dan demokratis.[13]

3.      Ikhlas dan Dermawan

Kiai Fauzi mengajarkan dan memberikan teladan santrinya untuk ikhlas dalam mengabdi untuk masyarakat. Selama beliau mengajar di madrasah, bisyaroh yang beliau terima diberikan kembali untuk kepentingan operasional madrasah. Saat idul fitri, beliau pernah menerima zakat fitrah mencapai 8 karung, yang setiap karungnya ialah lebih dari 1 kwintal. Semua itu diserahkan kepada pengurus pondok untuk para santrinya. Di masa hidup beliau, rumah beliau terbuka kepada santrinya. Santri beliau boleh masuk ke ndalem untuk minum, tapi tidak boleh mengambil untuk dibawa keluar. Karena beliau berhat-hati, jangan sampai air minum tidak terminum dan sia-sia.[14]

4.      Akrab dan Bersahabat

Meskipun sebagai seorang ulama berwibawa dan kharismatik, Kiai Fauzi tetap bersahabat dan akrab dengan masyarakat, terlebih dengan santri-santri dan anak muda. Di Desa beliau akrab disapa dengan sebutan Kang Fauzi. Beliau juga sering bermain catur dengan santrinya. Permainan catur ini merupakan strategi beliau, dalam permainan catur ini beliau akan mempelajari dan memahami bagaimana karakter dan kejiwaan lawannya.

Beliau jarang dan hampir tidak pernah tidur malam. Beliau selalu keluar berjalan menyusuri kampung di malam hari. Beliau mengamati aktivitas kampungnya di malam hari, yang akhirnya beliau mengetahui siapa dan dimana anak-anak muda yang suka nongkrong malam dipinggir jalan. Pada satu malam, beliau mengajak seorang anak muda, untuk ikut dengan beliau untuk jalan-jalan dan makan-makan enak. Anak itu senang dan mau ikut. Kiai Fauzi membawa anak itu berangkat dengan mobil jemputan untuk hadir mengisi ceramah di acara pengajian besar. Sejak itu anak muda tadi menjadi halus tak berkutik, ia sadar, dan menjadi sangat sungkan kepada Kiai Fauzi.

5.      Ahli Fiqih yang Cerdas

Didukung dengan cara berpikir yang maju, Kiai Fauzi juga merupakan sosok yang cerdas, sampai-sampai Kiai Fauzi itu sering dijuluki “kitab melaku.” Beliau seakan hafal berbagai macam kitab. Dimanapun dan kapanpun semua persoalan hukum yang ditanyakan siapapun dijawab beliau seketika. Tentunya, hal ini sangat diperlukan dalam mengurai khazanah keilmuan islam terutama referensi klasik kitab kuning dalam menjawab tantangan perubahan zaman untuk disesuaikan dengan praktek keislaman. Dari kemampuannya itu, beliau sangat menonjol dalam berbagai forum Bahtsul Masail di Kabupaten Demak, Jawa Tengah, sampai ke Muktamar NU. Bahkan dalam bahtsul masail thariqah, Kiai Salman Popongan yang paling terkenal sebagai mursyid thariqah tidak berkenan memberikan keputusan dalam bahtsul masail selagi masih ada Kiai Fauzi. Beliau jugalah yang membuka pemikiran rekan-rekan beliau di desa dalam bahtsul masail se-Jungpasir tiap selapan, sebulan sekali. Yang semakin hari kemudian dilanjutkan di lingkungan santri sendiri sampai sekarang. Untuk mengenang spesialis beliau di bidang ini, setiap tahun haul beliau diadakan acara bahtsul masail kubro antar pesantren se-jawa.

6.      Kiai Sufi dan Kiai Jawa

Corak sufistik menghiasi karakter para kiai jawa termasuk Kiai Fauzi. Apa yang beliau peroleh dari berkelana kepada para kiai guru beliau, mendapatkan ijazah berupa amalan-amalan puasa dan wirid. Beliau memberikan ijazah kepada para santri untuk puasa 3 sampai 6 tahun dengan mengamalkan membaca wirid Sholawat Dalailul Khoirot, kitab shalawat yang terkenal karya Syaikh Sulaiman al-Jazuli. Dan juga setiap tahun memberikan ijazah wirid Asmaul Husna yang diamalkan dengan puasa mutih selama 41 hari. Juga wirid-wirid yang dibaca di pesantren setiap sehabis sholat itu semua merupakan ijazah dari Kiai Fauzi. Wirid dan Ijazah adalah sesuatu yang sangat penting dalam lingkungan komunitas Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah  di seluruh dunia.

7.      Penggemar Sepakbola

Kiai Fauzi adalah seorang penggemar sepakbola. Beliau bahkan tak jarang meliburkan jadwal ngajinya untuk mengajak para santri untuk menonton pertandingan sepakbola bersama di TV. Hal ini terbilang unik dan aneh bagi seorang kiai. Mungkin hal ini salah satu bentuk pendekatan emosional beliau dengan anak-anak santri. Beliau tetap mempunyai keistiqomahan, setelah nonton harus tetap ngaji, tidak ada kata libur untuk ngaji meskipun nonton bola. Kiai Fauzi juga mewajibkan pada santri-santri beliau untuk berolahraga dua kali setiap minggu.

8.      Banyak Keramat

Kiai Fauzi adalah sosok yang seakan-akan dikeramatkan oleh masyarakat saking begitu besar pengaruhnya. Beliau terkenal doanya makbul dan ucapannya menjadi kenyataan. Diantaranya beliau pernah mengucapkan, “nanti, antara rumah saya sampai masjid sana rumah-rumah akan menjadi bangunan bertingkat.” Itu adalah isyarat akan meningkatnya taraf ekonomi masyarakat dikemudian hari. Padahal kata-kata itu keluar ketika pada masa carut-marutnya perekomian Indonesia tahun 1965.

Pada masa peristiwa pemberontakan PKI pada tahun 1965, beliau pernah membekali santri beliau dengan ijazah ilmu-ilmu kanuragan. Namun setelah berlalu masa ancaman PKI itu, ijazah yang beliau berikan itu diminta kembali. Meskipun beliau adalah orang yang sakti dan ahli ilmu kanuragan, beliau tidak mau mengajarkan kepada santrinya, karena hal itu dianggap kurang penting dan berbahaya bagi kejiwaan mereka.

Apa yang lebih bermanfaat bagi para santri ialah apa yang diharapkan oleh beliau dalam doanya, agar semua santri beliau menjadi orang yang bermanfaat. Kalau santri tidak menjadi kiai atau ilmunya bermanfaat, ia diberi kelebihan dalam harta benda untuk mendukung jalan dakwah. Ada diantara santri beliau menjadi kiai besar yang mengasuh pesantren dengan santri ribuan, jumlah yang lebih besar dari jumlah santri beliau sendiri yang tidak mencapai angka 500. Ada juga diantara santri beliau yang sangat sulit ekonominya waktu belajar di pondok, tapi kemudian menjadi orang yang kaya raya dan sangat dermawan.

Pernah suatu ketika, santri alumni beliau yang bekerja di Jakarta mendapat kabar bahwa pondoknya sedang ada pembangunan, sedang ia sendiri tak punya uang. Ia memaksakan diri untuk berhutang beberapa juta kepada bosnya untuk disumbangkan pembangunan pesantren. Ketika ia kembali ke pondok, ia mendapatkan rizki yang tak terduga asalnya yang lebih dari jumlah uang yang disumbangnya.

Banyak santri beliau yang mendapatkan dhawuh secara khusus yang menggambarkan masa depan santri tersebut akan sebuah isyarat mengenai tantangan yang akan dihadapinya atau takdir yang akan dijalani santrinya tersebut.

Kiai Fauzi dulu pernah beberapa kali menikahkan jin, dan hal ini sering disaksikan oleh santri beliau sekitar jam 2 malam. Hanya saja pada saat itu santrinya baru ada 10 orang. Ada lampu stongkring terpasang dan tidak ada siapa-siapa kecuali Kiai Fauzi yang terlihat dalam remang-remang dengan suaranya menikahkan orang. Pada saat itulah acara walimah yang dihadiri para jin.

Ketika Kiai Fauzi menghadiri acara, menurut adat yang berlaku, biasanya ada 2 amplop. Satu untuk sumbangan masjid, dan satu lagi bisyaroh kiai. Dan biasanya amplop untuk masjid nominalnya harus lebih besar, namun khusus untuk menghadirkan Kiai Fauzi, panitia mengalokasikan nominal yang lebih besar untuk kiai daripada untuk masjid. Alasannya, hal ini sudah diyakini pasti apa yang diberikan pada Kiai Fauzi lebih besar, pasti berkahnya nanti lebih besar.



[1] Wawancara Kiai Haji Misbahuddin pada pukul 16.00 WIB tanggal 5 September 2016.

[2] Wawancara dengan Kiai Farokhi pada tanggal 19 Agustus 2016 pukul 09.00 WIB di kediaman beliau, kompleks pesantren Al-Ittihad.

[3] Wawancara dengan Kiai Ahmad Hasyim di Kantor MTs Bandar Alim Jungpasir, pada tanggal 29 Agustus 2016 pukul 11.00 WIB.

[4] Wawancara dengan Kiai Farokhi pada tanggal 19 Agustus 2016 pukul 09.00 WIB di kediaman beliau, kompleks Pesantren Al-Ittihad.

[5] Wawancara dengan Kiai Ahmad Hasyim di Kantor MTs Bandar Alim Jungpasir, pada tanggal 29 Agustus 2016 pukul 11.00 WIB.

[6] Wawancara dengan Kiai Abdul Bashir pada pukul 20.00 WIB tanggal 5 September 2016 di kediaman beliau (Desa Pasir Mjien Demak).

[7] Wawancara dengan Kiai Farokhi pada tanggal 19 Agustus 2016 pukul 09.00 WIB di kediaman beliau, kompleks pesantren Al-Ittihad.

[8] Wawancara dengan Bapak Khoirul Ulum Kepala Madrasah Tsanawiyah Bandar Alim Jungpasir, pukul 11.00 di Kantor Madrasah Tsanawiyah Bandar Alim Jungpasir tanggal 29 Agustus 2016.

[9] Wawancara dengan Kiai Ahmad Hasyim di Kantor MTs Bandar Alim Jungpasir, pada tanggal 29 Agustus 2016 pukul 11.00 WIB.

[10] Wawancara dengan Kiai Farokhi pada tanggal 19 Agustus 2016 pukul 09.00 WIB di kediaman beliau, kompleks pesantren Al-Ittihad.

[11] Wawancara dengan Kiai Farokhi pada tanggal 19 Agustus 2016 pukul 09.00 WIB di kediaman beliau, kompleks pesantren Al-Ittihad.

[12] Wawancara dengan Bapak Khoirul Ulum Kepala Madrasah Tsanawiyah Bandar Alim Jungpasir, pukul 11.00 di Kantor Madrasah Tsanawiyah Bandar Alim Jungpasir tanggal 29 Agustus 2016.

[13] Wawancara dengan Bapak Khoirul Ulum Kepala Madrasah Tsanawiyah Bandar Alim Jungpasir, pukul 11.00 di Kantor Madrasah Tsanawiyah Bandar Alim Jungpasir tanggal 29 Agustus 2016.

[14] Wawancara dengan KH. Abdul Jalal pada pukul 14.30 WIB tanggal 4 September 2016 di rumah beliau (Komplek Pesantren Al-Ittihad) Desa Jungpasir.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

HASIL BAHTSUL MASAIL KUBRO PP. AL-ITTIHAD 2022